Senin, 25 Agustus 2008

Sertifikasi Guru, Harapan dan Kekhawatiran

Gaung sertifikasi guru sekarang mampu menyita perhatian di kalangan tenaga kependidikan (guru dan dosen) di tanah air. Betapa tidak, dengan mengantongi sertifikat pendidik, maka seorang guru berhak mendapatkan tunjangan berupa satu kali gaji pokok.

Di satu sisi, hal ini merupakan sesuatu yang patut disyukuri oeh para guru dan dosen. Sebab dengan sertifikasi guru diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan guru yang notabene masih tertinggal jauh dari profesi lain seperti hakim dan dokter misalnya. Peningkatan kualitas kesejahteraan ini tentunya harus diimbangi dengan peningkatan kualitas profesionalisme guru yang pada intinya akan berdampak pada peningkatan mutu proses pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Pertanyaannya sekarang, apakah upaya yang dilakukan pemerintah tersebut akan efektif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Jawabannya tentu tidak akan dapat terlihat dalam waktu singkat. Kalau program ini tidak dilaksanakan secara konsisten dan evaluasi yang serius, maka dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan-penyimpangan. Tanpa dilandasi idealisme dan nilai moral yang baik, maka tunjangan satu kali gaji pokok dikhawatirkan hanya akan memupuk moral buruk di kalangan pendidik kita. Buruk dalam arti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Pintu kecurangan yang dapat terjadi adalah dengan memanipulasi data pada fortofolio agar sesuai dengan kriteria-kriteria yang ditentukan.

Dengan syarat harus memiliki ijazah S1, maka para guru berlomba-lomba untuk memenuhi persyaratan tersebut dengan mengikuti perkuliahan baik melalui proyek pemerintah maupun dengan biaya sendiri (mandiri). Perguruan tinggi negeri maupun swasta juga membuka program S1 bagi guru-guru yang belum memiliki gelar sarjana. Kalau pendidikan S1 yang dilaksanakan hanya bertujuan untuk mendapatkan gelar S.Pd dan gelar sarjana pendidikan lainnya tanpa memperhatikan mutu dari program S1 yang dilaksanakan maka hanya akan menghasilkan sarjana-sarjana dengan kualitas rendah yang tentunya tetap tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Sertifikan pelatihan juga merupakan komponen penilaian dalam sertifikasi guru. Peserta sertifikasi berusaha untuk memasukkan berbagai STTPL, walaupun terkadang harus menggunakan STTPL aspal. Melihat gejala inilah akhirnya ditetapkan bahwa STTPL yang dimuat dalam fortofolio harus asli!!.

Bagi sekolah-sekolah di kota yang memiliki guru cukup atau bahkan lebih dalam satu sekolah, maka untuk memenuhi persyaratan mengajar selama 24 jam dalam seminggu sangat sulit untuk diwujudkan yang berarti seorang guru tidak mencukupi syarat untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Hal inipun rawan penyimpangan karena legalisasi pernyataan jam mengajar tersebut cukup ditandatangani oleh kepala sekolah. Kalau terjadi kolusi antara kepala sekolah dan guru yang bersangkutan dengan berbagai alasan, maka penyimpangan data yang tidak sesuai dengan realita yang ada juga dapat terjadi di sini. Dapat saja seorang kepala sekolah membuat keterangan yang menyatakan bahwa si guru mengajar selama 24 jam seminggu, sedangkan pada kenyataannya tidak demikian.
Dampak negatif yang juga mungkin terjadi dari penerapan sertifikasi guru ini adalah adanya kecemburuan sosial di kalangan guru. Ketika salah seorang guru yang mendapatkan tunjangan gaji dua kali lipat dari rekan kerja yang lain tidak menunjukkan kinerja yang signifikan, maka hal ini akan berdampak buruk bagi guru-guru lain dalam sekolah tersebut. Apalagi kinerja yang ditunjukkan lebih buruk daripada guru yang tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi.

Akhirnya kembali kepada diri masing-masing dalam menyikapi sertifikasi guru ini. Kalau hal ini disikapi dengan idealisme dan nilai moral yang tinggi, maka sertifikasi guru dapat menjadi jalan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesial. Sebaliknya tanpa moral dan idealisme yang tinggi maka sertifikasi guru hanya akan menghasilkan guru-guru yang bermental buruk yang akan berimbas kepada generasi bangsa ini. Karena guru adalah figur yang digugu dan ditiru. Bagaimana mungkin kita mengharapkan generasi kita mendatang akan bebas dari budaya korupsi kalau orang yang mendidik mereka juga tidak bersih dari penghasilan yang tidak baik, yang diantara penunjang hidupnya berasal dari hasil yang bukan haknya.

Tidak ada komentar: